FENOMENOLOGI (EDMUND HUSSERL)
Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
“Konstitusi” merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.
Sebagai contoh dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl sulalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.
Pandangan Husserl tentang “Reduksi Fenomenologis”. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada “sikap fenomenologis”. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan).
Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.
Jika kita menempatkan realitas material dengan mempraktekkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorous. Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran dan juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorous.
Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak lagi bicara tentang dunia secara naif, seakan-akan dunia sama sekalai tidak berkaitan dengan kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam fenomenologi kita menemukan dunia sebagai korelat dari kesadaran, dunia sebagai fenomen.
Demikianlah fenomenologi dapat mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan apodiktis dan absolut tentangnya. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia, sebaliknya realitas material ditemui dalam suatu prespektif baru, yaitu korelat bagi kesadaran. Menurut Husserl yang lebih penting dalam reduksi bukannya menaruh dunia sendiri antara kurung, melainkan setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia menekankan aspek positif dari reduksi, reduksi bukan saja berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural, melainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu yaitu kesadaran atau “ego transendental”.
Sumber:
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. 1980
Bertens. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia. 1983
Sumber:
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. 1980
Bertens. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia. 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar